Monday 21 November 2011

PENDEKATAN PROMOSI KESEHATAN PADA PENYAKIT TIDAK MENULAR : PENYAKIT JANTUNG KORONER

1.      Epidemiologi
Peningkatan dalam sistem kesehatan masyarakat (misalnya, meningkatnya kebersihan, nutrisi dan imunisasi) dan peningkatan sistem pengobatan (misalnya, antibiotik) berhasil menurunkan insidensi dan prevalensi penyakit menular. Dengan menurunnya menyakit menular, posisinya sebagai penyebab kematian digantikan oleh penyakit kronis seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK), kanker dan stroke (Schneider dan Speers, 2001). Dari sekian banyak penyakit tidak menular, data WHO menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab kematian utama di dunia. Diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena PJK di tahun 2008, angka ini mencapai 30% dari seluruh kematian. Dari jumlah tersebut 7,3 juta meninggal akibat PJK dan 6,2 juta meninggal karena stroke. Negara – negara yang sedang berkembang berperan besar dalam menyumbang kematian akibat PJK, bahkan 80% dari seluruh kasus kematian akibat PJK berada di negara – negara tersebut. Pada tahun 2030 diperkirakan 23,6 juta orang meninggal karena PJK dan kebanyakan karena penyakit jantung dan stroke.
Di Indonesia prevalensi penyakit jantung koroner menjai semakin tinggi. Suvey Kesehatan Nasional yang dilakukan secara berkala oleh Kemenkes menunjukkan bahwa Tahun 2003  jantung koroner telah menempati urutan pertama dalam deretan penyebab utama kematian di Indonesia yaitu sebesar 26,4%. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di negara kita.
     Masalah kesehatan adalah  masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi terutama faktor sosial budaya.
Sejak pertengahan abad  ke-20, berbagai faktor risiko, termasuk faktor psikososial dan gaya hidup telah berhasil diidentifikasi. Dengan munculnya pengetahuan tersebut maka mulai banyak muncul penelitian – penelitian untuk mencari perjalanan penyakit, termasuk intervensi faktor psikososial dan gaya hidup sebagai upaya menurunkan kesakitan dan kematian karena penyakit kronis.


2.      Akar Masalah
Sumber dari faktor – faktor risiko pada penyakit tidak menular adalah perilaku, fisiologis atau genetik, lingkungan dan sosial. Faktor risiko adalah pengalaman, perilaku, tindakan atau aspek – aspek pada gaya hidup, yang dapat memperbesar peluang terkenanya atau terbentuknya suatu penyakit, kondisi, cedera, gangguan, ketidakmampuan, atau kematian. Faktor risiko dapat terbentuk akibat kondisi, karakter, atau pajanan risiko yang kuat. Faktor risiko juga mengacu pada perilaku yang berisiko, kondisi penguat atau faktor – faktor predisposisi. Banyak faktor risiko yang berkaitan dengan gaya hidup, pekerjaan, lingkungan dan perilaku terbentuk dari sejumlah pengaruh dan sumber yang tidak selalu dapat dijelaskan, termasuk pilihan dalam gaya hidup, kondisi kehidupan, pengaruh sosial dan pajanan lingkungan.
Berbagai teori perilaku berkembang untuk menjelaskan masalah – masalah kesehatan, salah satunya adalah teori yang dikembangkan oleh R.G Evans dan G.L. Stoddart tahun 1990.

Gambar model determinan kesehatan oleh R.G Evans dan G.L. Stoddart tahun 1990.

Dalam model tersebut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang, faktor sosial, faktor fisik dan genetik turut mempengaruhi determinan biologis dan perilaku kesehatan individu. Poin pentingnya adalah perilaku bukan merupakan pilihan individual, tapi terbentuk dari berbagai tekanan dari berbagai lebel organisasi. Individu dipengaruhi oleh keluarga, hubungan sosial, organisasi tempat mereka berinteraksi (tempat bekerja, sekolah, organisasi keagamaan), komunitas tempat mereka tinggal, dan lingkungan sosial disekitar mereka.
Tingginya jumlah penderita penyakit jantung saat ini telah lama menjadi sorotan para peneliti. Banyak faktor yang berkaitan dengan peningkatan prevalensi PJK, diantaranya adalah terjadinya transisi epidemiologi, yaitu keadaan dimana usia harapan hidup meningkat. Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan kematian bayi, anak dan remaja karena peningkatan mutu pelayanan kesehatan, penanganan masalah nutrisi yang lebih baik, berkurangnya penyakit infeksi, peningkatan status ekonomi, serta meningkatnya peran dan pendidikan wanita. Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup, maka semakin meningkat pula jumlah penduduk berusia dewasa dan lanjut usia, dan semakin tinggi pula risiko untuk mengalami PJK.
Namun diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi, faktor yang paling dominan adalah gaya hidup. Seiring dengan berkembangnya sistem kehidupan, industrialisasi dan urbanisasi terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan. Jumlah konsumsi sayuran, buah – buahan dan sumber serat mulai berkurang, digantikan dengan peningkatan konsumsi daging, dan makanan tinggi lemak lainnya. Sebuah penelitian di China menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi lemak pada masayarakat kelas atas dari 22,8% di tahun 1983 menjadi 66,6% di tahun 1993. Hal yang sama juga terjadi di kalangan menengah dan menengah ke bawah, peningkatannya dari 19% hingga 36,4% di tahun 1993. Di beberapa negara Asia yang sebelumnya makanan pokoknya adalah makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak, saat ini mulai mengalami perubahan pola makan menjadi penurunan konsumsi karbohidrat dan peningkatan konsumsi lemak. Globalisasi produksi makanan dan pemasaran makanan juga berperan dalam meningkatkan konsumsi makanan rendah serat dan rendah mikronutrien.Kondisi ini semakin diperburuk oleh pengaruh dari media dan iklan.
Globalisasi juga mendorong kemajuan teknologi. Hampir setiap sendi kehidupan manusia dibantu oleh keberadaan teknologi. Kemajuan teknologi membantu mengurangi beban kerja manusia, sayangnya hal ini juga berarti semakin berkurangnya aktivitas fisik. Saat ini, orang lebih memilih untuk menggunakan lift dibandingkan tangga, mengendarai mobil dibandingkan berjalan kaki, sementara kegiatan olahraga semakin berkurang, bahkan mulai ditinggalkan karena kesibukan bekerja atau aktivitas lainnya. Hal ini jelas menimbulkan implikasi buruk terhadap kesehatan, salah satunya adalah munculnya risiko untuk mengalami penyakit jantung.
Peningkatan konsumsi tembakau atau rokok di beberapa negara berkembang juga mempengaruhi peningkatan kasus PJK. WHO menyatakan bahwa, di tahun 2010, rokok akan menjadi penyebab kematian utama, 12,3% dari seluruh kematian di dunia. Kematian terjadi akibat penyakit jantung yang disebabkan oleh konsumsi tembakau. Tembakau adalah penyebab utama kematian akibat PJK, padahal sebenarnya faktor ini adalah faktor yang bisa dicegah.


3.      Kebijakan Nasional Penanggulangan PTM
Kerangka konsep pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular didasari oleh kerangka dasar Blum, bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan PTM ini ditujukan pada penyakit-penyakit yang mempunyai faktor resiko yang sama yaitu : jantung, stroke, hipertensi, diabetes militus, penyumbatan saluran napas kronis.
a.      Tujuan
Memacu kemandirian masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan PTM untuk nmenurunkan kejadian penyakit tidak menular (PTM) dan meningkatkan kualitas hidup sehat masyarakat yang berada di semua tatanan.
b.      Bagaimana caranya ?
Dengan cara menghilangkan atau mengurangi faktor resiko PTM dan memperhatikan faktor lain yang dapat mempengaruhi kesehatan. Departemen kesehatan, melalui pusat promosi kesehatan memfokuskan pada :
  • Meningkatkan upaya kesehatan melalui promotif dan preventif baik Pusat maupun Propinsi dan Kabupaten.
  • Melakukan intervensi secara terpadu pada 3 faktor resiko yang utama yaitu : rokok, aktivitas fisik dan diet seimbang.
  • Melakukan jejaring pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Mencoba mempersiapkan strategi penanganan secara nasional dan daerah terhadap diet, aktivitas fisik, dan rokok.
  • Mengembangkan System Surveilans Perilaku Beresiko Terpadu (SSPBT) PTM.
  • Kampanye pencegahan dan penanggulangan PTM tingkat nasional maupun lokal spesifik.
Untuk di masa datang upaya pencegahan PTM akan sangat penting karena hal ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu rokok, diet seimbang dan aktivitas fisik. Pencegahan PTM perlu didukung oleh para semua pihak terutama para penentu kebijakan baik nasional maupun lokal.
c.       Sasaran
  • Penentu kebijakan baik di pusat maupun di daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
  • Penentu kebijakan pada sektor terkait baik di pusat dan daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
  • Organisasi profesi yang ada.
  • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sektor swasta serta masyarakat.
d.      Kebijakan
Promosi dan pencegahan PTM dilakukan pada seluruh fase kehidupan, melalui pemberdayaan berbagai komponen di masyarakat seperti organisasi profesi, LSM, media
massa, dunia usaha/swasta.
Upaya promosi dan pencegahan PTM tersebut ditekankan pada masyarakat yang masih sehat (well being) dan masyarakat yang berisiko (at risk) dengan tidak melupakan masyarakat yang berpenyakit (deseased population) dan masyarakat yang menderita kecacatan dan memerlukan rehabilitasi (rehabilitated population).
  • Penanggulangan PTM mengutamakan pencegahan timbulnya faktor resiko utama dengan meningkatkan aktivitas fisik, menu makanan seimbang dan tidak merokok.
  • Promosi dan pencegahan PTM juga dikembangkan melalui upaya-upaya yang mendorong/memfasilitasi diterbitkannya kebijakan publik yang mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Promosi dan Pencegahan PTM dilakukan melaui pengembangan kemitraan antara pemerintah, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi termasuk dunia usaha dan swasta.
  • Promosi dan pencegahan PTM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam semua pelayanan kesehatan yang terkait dengan penanggulangan PTM.
  • Promosi dan pencegahan PTM perlu didukung oleh tenaga profesional melalui peningkatan kemampuan secara terus menerus (capacity building).
  • Promosi dan pencegahan PTM dikembangkan dengan menggunakan teknologi tepat guna sesuai dengan masalah, potensi dan sosial budaya untuk meningkatkan efektivitas intervensi yang dilakukan di bidang penanggulangan PTM.
e.       Strategi
Sasaran Promosi dan pencegahan PTM secara operasional di lakukan pada beberapa tatanan (Rumah tangga, tempat kerja, tempat pelayanan kesehatan, tempat sekolah, tempat umum, dll). Area yang menjadi perhatian adalah diet seimbang, merokok, aktivitas fisik dan kesehatan lainnya yang mendukung.
Strategi promosi dan pencegahan PTM secara umum meliputi Advokasi, Bina suasana dan Pemberdayaan masyarakat. Di tingkat pusat lebih banyak dilakukan pada advokasi dan bina suasana. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota lebih ditekankan pada pemberdayaan masyarakat 3 (tiga) strategi untuk semua hanya materinya beda.
·         Mendorong dan memfasilitasi adanya kebijakan publik berwawasan kesehatan yang mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Mendorong dan memfasilitasi berfungsinya jaringan kerjasama antar institusi penyelenggara promosi dan mitra potensi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Meningkatkan peran aktif tenaga promosi kesehatan di dalam upaya penanggulangan PTM secara komprehensif baik dalam upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif di masing-masing institusi pelayanan.
  • Meningkatkan kapasitas tenaga profesional bidang promosi kesehatan baik di pusat maupun daerah khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pemeliharaan kesehatan mandiri masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pemecahan masalah PTM yang dihadapi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan lingkungannya dalam pencegahan dan penanggulangan PTM.
  • Mengembangkan daerah kajian teknologi promosi kesehatan tepat guna dalam penanggulangan PTM.
f.       Indikator
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh keberhasilan pelaksanaan strategi penanggulangan PTM, ada beberapa patokan yang dapat dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi melalui sistem pencatatan dan pelaporan kegiatan pencegahan dan penanggulangan PTM.
Indikator keberhasilan strategi promosi dan pencegahan PTM yaitu :
1.      Indikator Umum
·         Menurunnya angka kematian (mortalitas) penderita PTM utama.
·         Menurunnya angka kesakitan (morbiditas) penderita PTM utama.
·         Menurunnya angka kecacatan (disabilitas) penderita PTM utama.
·         Menurunnya angka faktor risiko bersama PTM utama.
2.      Indikator Khusus
·         Penurunan 3 faktor risiko utama PTM (merokok, kurang aktvfitas fisik dan konsumsi rendah serat).
·         Penurunan proporsi penduduk yang mengalami obesitas, penyalahgunaan alcohol dan BBLR.
·         Peningkatan kebijakan dan regulasi lintas sector yang mendukung penanggulangan PTM.
·         Peningkatan bina suasana melalui kemitraan dalam pemberdayaan potensi masyarakat.
·         Tersedianya model-model intervensi yang efektif dalam promosi dan pencegahan PTM.
·         Peningkatan pelaksanaan promosi dan pencegahan di institusi pelayanan.

4.      Kritik dan Saran
Berdasarkan program tersebut dapat dilihat bahwa telah ada program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah penyakit tidak menular, melalui 3 fokus utama yaitu rokok, diet seimbang dan aktivitas fisik. Sesuai dengan teori perilaku yang dikembangkan oleh Evan dan Stoddart bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh berbagai level organisasi disekitarnya, maka program pencegahan PTM sebaiknya juga dilakukan di beberapa level organisasi, baik di keluarga, tempat kerja dan lingkungan tempat tinggal.
Dalam penerapan program tersebut dapat digunakan pendekatan Health Belief Model. Health belief model telah dipergunakan selama bertahun – tahun sebagai landasan teoritis bidang pencegahan penyakit, pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan. Penerapan konsep ini didasarkan pada pendapat bahwa keyakinan yang dipegang seseorang tentang suatu fenomena kesehatan memang benar bagi mereka, setidaknya orang tersebut akan berpegang teguh pada pendapat itu dan akan mengikuti perilaku yang dihasilkan. Empat asumsi dasar health belief model yang telah diadaptasikan untuk penyakit kronis :
a.       Individu atau populasi harus yakin bahwa kesehatannya telah dipertaruhkan.
b.      Individu atau populasi harus menyadari keseriusan suatu penyakit, kondisi atau gangguan atau faktor risiko yang berkontribusi pada kejadian tersebut, dengan tujuan untuk menghentikannya.
c.       Individu atau populasi harus merasa dirinya rapuh terhadap penyakit, menganggap diri mereka rentan terhadap penyakit itu, dan yakin bahwa manfaat yang didapat dari perubahan yang dapat menekan biaya dan kesulitan.
d.      Individu atau populasi harus yakin bahwa rindakan yang dilakukan pasti membawa hasil dan penyembuhan yang bermakna guna memotivasi orang tersebut untuk memberikan suatu respons.
Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dapat dilakukan :
a.       Pemberian promosi kesehatan kepada individu atau populasi melalui penyuluhan langsung dengan memanfaatkan acara yang terus dilakukan secara rutin di masyarakat yang melibatkan populasi target, misalnya saat pengajian atau arisan.
b.      Menggunakan pendekatan positive deviance (penyimpangan positif) untuk melihat apakah ada kearifan lokal atau perilaku menyimpang positif dari salah satu anggota masyarakat yang bisa dijadikan contoh dan teladan untuk anggota populasi lain. Diharapkan masyarakat lebih mau menerima dan mempertahankan perilaku positif karena hal tersebut berasal dari komunitas mereka sendiri.
c.       Mencanangkan program olahraga rutin di berbagai level organisasi, seperti melakukan senam jantung sehat untuk lansia dengan memaksimalkan peran posyandu lansia, senam rutin di hari Jumat di semua kantor swasta, instansi pemerintah dan sekolah – sekolah.
d.      Mensosialisasikan dan melaksanakan UU Kesehatan yang berkaitan dengan pelarangan merokok di tempat umum.
e.       Mengubah bungkus rokok, bungkus rokok dengan gambar akibat dari kebiasaan merokok seperti yang dilakukan di negara lain diharapkan lebih efektif untuk meingkatkan keyakinan bahwa perilaku merokok memberikan pengaruh yang sangat buruk untuk kesehatan.
f.       Mengubah pendekatan kepada populasi tentang perilaku merokok, telah lama dilakukan pelarangan merokok, sosialisasi akibat merokok, dll namun terbukti tidak efektif untuk menurunkan angka perokok, berkaitan dengan krisis ekonomi dan kesulitan jika pendekatan promosi diubah ke pendekatan ekonomi seperti berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk merokok dalam sebulan, berapa uang yang bisa disimpan dengan tidak membeli rokok dan berapa kebutuhan pokok yang bisa dibeli diharapkan masyarakat bisa lebih sadar akan bahaya ekonomi yang disebabkan oleh merokok dan secara langsung akan mengurangi perilaku merokok.

Thursday 3 November 2011

Ana's Award 2011 (part 1)

1. Fav. Female Artist
    The award goes to.... Cameron Diaz
    Pinter, lucu, actingnya bagus, paling seneng liat dia di film My Sister Keeper.

2. Fav. Male Artist

      The award goes to.... Neil Patrick Harris
      Love at the first sight di serial How I Meet Your Mother as Barney Stinson, play boy parah yg hidupnya ngga bisa jauh dari perempuan, suka banget kalo dia uda ngeluarin senyum yg cuma bibir kirinya yg ke atas **aaawwwww** Sampe beberapa bulan yang lalu lagi browsing tentang dia di mbah Google ternyata dia Gay, menikah dengan someone (laki - laki pastinya) dan punya anak adopsi, dan yg lebih parah lagi di beritanya ditulis mereka bingung siapa yg mau dipanggil papa dan siapa yg mau di panggil mama, JEGERRR!!!! Shock! Pantesan aja jaman skarang susah banget cari laki - laki, sekalinya ada yang bagusan dikit Gay, hadeuuh...

3. Fav. Female Singer
    
the Award goes to... Rihanna
Yeah.. ni perempuan bagus banget dah suaranya, lagu - lagunya juga bagus - bagus semua, video klipnya bagus2, kecuali satu tuh yang Rude Boy, aneh banget. Dari lagu pertamanya Pon the Replay sampe sekarang entah udah berapa lagu dari ketiga albumnya selalu ada di playlist laptop atau Hp. Never say boring for Rihanna.

4. Fav. Male Singer




the award goes to.... Josh Groban
Suaranya menggelegar, walaupun agak - agak berat lagu - lagunya tapi ngga pernah bosen denger suaranya, bagus banget buat pengantar tidur. Sebenernya sih gw lebih suka liat dia nyanyi versi Live, berapa kalipun di tonton selalu bikin merinding, penampilan livenya jauh lebih menggelegar dibandingin cuma denger hasil rekaman doang.

5. Sexiest Female Artist

the award goes to.... Beyonce Knowles
Why Beyonce? Gw ngga suka kalo artis itu too skinny, keliatannya kaya orang kurang makan, padahal mereka kaya - kaya. Bentuk tubuhnya ngga menunjukkan kemakmuran hidup mereka. Dan yang paling penting memberikan contoh yg ngga baik, kecantikan tidak sama dengan kurus. Liat aja Beyonce, dia punya paha gede kok, tapi tetep keliatan sexy dengan bentuk tubuhnya yg agak montok, keliatan kalo dia mampu beli makan yg enak - enak, hahaha. This is how woman body should be.

6. Sexiest Male Artist

the award goes to... Adam Levine

Dia ngga perlu Moves Like Jagger juga udah sangat lelaki, maskulin, cool, pas banget deh. Apalagi ditambah unshaved beardnya itu, oo..lala!!

Wednesday 14 September 2011

STRATEGI INTERVENSI STUNTING DI PROVINSI LAMPUNG


1.1  Pendahuluan
Salah satu program dalam Millenium Development Goals (MDGs) adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Dalam laporan pencapaian MDGs tahun 2010 dikatakan bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan kemiskinan menjadi setengahnya. Angka kurang gizi pada balitapun dilaporkan telah mengalami penurunan.
Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing – masing 18,4 persen dan 36,8%, angka ini menempatkan Indonesia menjadi 36 negara yang member 90% kontribusi masalah gizi dunia. Meskipun berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masing – masing 17,9% dan 35,6% namun masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapatkan penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan.
Konsumsi makanan yang beragam, bergisi, seimbang dan aman dapat memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Gizi pada ibu hamil sangat berpengaruh pada perkembangan otak janin, sejak dari minggu ke empat pembuahan sampai lahir dan sampai anak berusia 2 tahun. Sejumlah penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan (Jalal, 2009).
Data Riskesdas juga menunjukkan bahwa asupan kalori anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari rendahnya AKG adalah anak balita perempuan dan laki – laki Indonesia mempunyai tinggi badan masing – masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 5 – 19 tahun kondisi ini lebih buruk karena anak perempuan tingginya 13,6 cm di bawah standard an anak laki – laki 10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu pendek juga terbukti melahirkan 46,7% bayi pendek. Katena itu jelas masalah gizi intergenerasi ini harus mendapat perhatian serius karena telah terbukti akan mempengaruhi kualitas bangsa.

1.2  Stunting
a.       Definisi
Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Gibney, 2004).
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunting terjadi sebagai akibat dari adanya kurang gizi kronis.

b.      Penyebab Stunting
Menurut Gibney, 2004 terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kurang gizi pada balita, yaitu sebagai berikut :
1.      Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gizi kurang
Ada lima mekanisme yang dapat menyebabkan gizi kurang yaitu :
a)      Penurunan asupan nutrien (bencana kelaparan, anoreksia karena penyakit kronis)
b)      Penurunan absorbsi nutrien (malabsorpsi karohidrat dan asam amino pada kolera)
c)      Penurunan pemakaian nutrien dalam tubuh (penggunaan obat malaria yang mengganggu metabolism folat)
d)     Peningkatan kehilangan nutrien (diare)
e)      Peninngkatan kebutuhan nutrien (infamasi kronis yang menyebabkan meningkatnya laju metabolik)
2.      Faktor sosioekonomi
Beberapa faktor sosial dan ekonomi telah diketahu berhubungan dengan kejadian gizi kurang. Daerah dengan pendapatan rendah, pendidikan orang tua rendah, rendahnya akses dengan tenaga kesehatan atau pusat pelayanan kesehatan telah diketahui berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah penderita gizi kurang.
3.      Bencana
Munculnya bencana seperti bencana kekeringan yang terjadi di Ethiopia telah menyebabkan prevalensi stunting dan wasting meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Peperangan atau konflik daerah juga menimbulkan tingginya prevalensi kasus gizi kurang. Bencana lain sepeerti banjir, badai, gempa dan sebagainya tidak terlalu berpengaruh karena durasinya lebih pendek dan kecil kemungkinan dalam menimbulkan masalah gizi.
4.      Aspek sosial dan perilaku
Ibu – ibu bekerja yang tidak memberikan ASI, ketidaktahuan tentang gizi dan fungsi ASI pada masyarakat berpendidikan rendah, kebiasaan dan adat istiadat seperti membiarkan balita makan sendiri, kebiasaan memberi makan balita setelah orang dewasa makan juga telah diteliti memiliki pengaruh kuat dengan kejadian stunting dan wasting pada anak – anak.

1.3  Prevalensi Stunting
Berdasarkan data WHO tahun 2000 jumlah balita yang mengalami stunting adalah 33%, jumlah ini telah mengalami penurunan sejak tahun 1980 yaitu sebesar 47%. Namun seiring dengan penurunan tersebut stunting justru semakin meningkat jumlahnya di beberapa negara Afrika. Masalah stunting lebih sering ditemui dibandingkan dengan masalah wasting (badan kurus).
Estimasi WHO pada tahun 2010 jumlah balita yang mengalami stunting mencapai 171 juta jiwa atau 27% dari seluruh balita. Diperkirakan bahwa jumlah balita penderita stunting paling tinggi di Asia yaitu sebesar 100 juta anak balita.
Di Indonesia pada tahun 2007 prevalensi anak balita pendek adalah 36,8% dan pada tahun 2010 menurun sedikit menjadi 35,6% padahal target RPJM pada tahun 2014 harus diturunkan menjadi 32%. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015 Provinsi Lampung berada dalam Strata 4 yaitu daerah dengan prevalensi pendek pada anak balita > 32% dan proporsi jumlah penduduk dengan rata – rata asupan kalori < 1.400 Kkal/orang/hari atau penduduk rawan pangan sebesar > 14,47%, lampung menempati posisi ini bersama dengan provinsi di daerah Nusa Tenggara dan Provinsi Papua Barat.

1.4  Strategi Intervensi Stunting
Secara global, telah dicanangkan berbagai program untuk mencegah dan menurunkan prevalensi stunting, diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan aksi nutrisi essensial (The Essential Nutrition Actions/ENAs) yang dicanangkan WHO. Program ini mencakup 6 hal yaitu :
a.       Pemberian nutrisi sehat bagi wanita
(1)   Mencegah anemia defisiensi besi pada wanita hamil
(2)   Pemberian asupan makanan yang adekuat :
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Peningkatan intake makanan dengan menambah 1 porsi makan setiap harinya
·         Mengurangi kinerja (paling tidak memiliki waktu istirahat yang rutin setiap harinya)
·         Penggunaan garam beryodium setiap hari
·         Memonitor peningkatan berat badan secara rutin selama kehamilan (berat badan wanita hamil naik 10 – 12 kg selama kehamilan)
(3)   Persiapan menyusui
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Inisiasi menyusui segera dalam 1 jam pertama setelah melahirkan
·         Pentingnya pemberian kolostrum
·         Memberikan hanya ASI tanpa makanan tambahan apapun selama 6 bulan
(4)   Mencegah transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak
(5)   Nutrisi selama menyusui
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Mencegah anemia defisiensi besi selama masa nifas
·         Meningkatkan asupan nutrisi dengan menambah porsi makan 2 kali setiap harinya
·         Meningkatkan variasi makanan (makanan berserat, protein hewani, kacang – kacangan, buah dan sayur)
·         Mnurunkan kinerja (menambah pola istirahat)
·         Meneruskan pemberian ASI selama anak sakit
·         Menjaga jarak kehamilan, serta metode kontrasepsi amenorhoe laktasi bagi ibu menyusui.
b.      Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0 – 6 bulan
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
(1)   Skin to skin contact antara ibu dengan bayi segera setelah melahirkan
(2)   Pemberian ASI dalam 60 menit pertama
(3)   Pemberian kolostrum
(4)   Mengosongkan satu payudara sebelum memindahkan bayi ke payudara lainnya
(5)   Tidak memberikan makanan tambahan apapun termasuk air putih, air gula atau makanan lainnya.
(6)   Pemberian ASI secara on-demand, sesuai keinginan bayi siang dan malam (minimal 8 kali perhari).
(7)   Mencegah defisiensi vitamin A
(8)   Mencegah defisiensi zat besi
(9)   Pemantauan tumbuh kembang bayi secara rutin tiap bulan :
·         Berat badan dan tinggi badan balita ditimbang dan diukur tiap bulan lalu dicatat dan dimasukkan ke grafik tumbuh kembang yang telah ditetapkan oleh WHO.
·         Apabila selama 2 bulan balita tidak mengalami kenaikan berat badan atau berat badannya turun hingga dibawah garis batas normal maka balita tersebut harus dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih kompeten.
c.       Pemberian makanan tambahan yang sehat pada bayi usia 6 – 35 bulan
(1)   Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 6 bulan – 1 tahun
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Memberikan makanan tambahan setelah bayi mencapai usia 6 bulan
·         Tetap melanjutkan pemberian ASI
·         Menyediakan makanan tambahan secara rutin dengan porsi kecil untuk bayi setiap hari
·         Meningkatkan porsi dan kekentalan makanan seiring dengan bertambahnya usia bayi
·         Memberikan bayi makanan kaya energy dan makanan yang telah difortifikasi oleh mikronutrien jika ada
·         Menyiapkan dan menyimpan makanan bayi dengan bersih
(2)   Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 1 – 3 tahun
·         Pemberian ASI dilanjutkan hingga usia balita 2 tahun
·         Lanjutkan pemberian makanan tambahan dengan tetap memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan, berikan makanan yang bervariasi dan sehat.
·         Hindari memberikan anak makanan yang berpengawet, mengandung pemanis dan minuman – minuman yang bersoda
·         Ajarkan anak cara makan yang benar dan bersih
(3)   Mencegah defisiensi vitamin A
(4)   Mencegah anemia defisiensi besi
(5)   Pemantauan tumbuh kembang balita
d.      Memberikan makanan pada balita yang sakit, dan setelah sakit
(1)   Periode ASI eksklusif (0 – 6 bulan)
·         Saat bayi sakit, pemberian ASI harus ditingkatkan, demikian pula setelah bayi sakit untuk menghindari penurunan berat badan yang berlebihan karena sakit.
·         Jika ada kesulitan menyusui segera konsultasikan dengan petugas yang kompeten.
·         Balita sakit tidak diberikan minuman apapun kecuali yang diresepkan, berikan oralit dan suplemen Zinc (10 mg) selama 10 – 14 hari jika balita mengalami diare.
(2)   Periode pemberian makanan tambahan (6 – 35 bulan)
·         Tingkatkan frekuensi menysusui dan berikan makanan tambahan untuk mencegah penurunan berat badan yang berlebihan.
·         Tambah porsi makan dan berikan tambahan makanan yang kaya energy dan nutrient lain setiap hari setelah bayi sakit untuk membantu proses penyembuhan.
·         Berikan oralit dan suplemen zinc (20 mg) selama 10 – 14 hari jika balita mengalami diare
(3)   Deteksi dini dan rujukan pada bayi yang mengalami malnutrisi akut
e.       Mencegah defisiensi yodium
(1)   Memonitor kualitas garam beryodium yang beredar di pasaran
(2)   Mempromosikan konsumsi garam beryodium
·         Bekerjasama dengan sector tertentu untuk menyediakan akses untuk memasarkan garam beryodium
·         Bekerja sama dengan media dan petugas kesehatan untuk mempromosikan penggunaan garam beryodium serta fungsinya
f.       Mencegah anemia defisiensi besi
(1)   Mencegah defisiensi besi pada wanita
a)      Semua wanita hamil harus menerima 30 tablet zat besi dan asam folat setiap bulannya selama 6 bula (total 180 tablet).
b)      Semua wanita hamil harus mendapatkan konseling mengenai fungsi, efek samping dan komplikasi zat besi dan asam folat
c)      Semua wanita hamil harus dipastikan menghabiskan semua tablet yang diberikan
d)     Wanita menyusui harus tetap melanjutkan konsumsi suplemen zat besi selama 3 bulan pertama post partum jika prevalensi anemia mencapai 40% di daerah tersebut.
e)      Pemberian asupan mikronutrien yang adekuat
·         Semua wanita harus mendapatkan asupan mikronutrien dengan mengkonsumsi makanan yang kaya mikronutrien.
·         Wanita miskin harus mendapatkan suplemen mikronutrien atau makanan yang telah difortifikasi mikrinutrien
(2)   Mencegah anemia defisiensi besi pada balita
a)      Segera setelah lahir
·         Penundaan pemotongan tali pusat paling tidak 2 menit
·         Bayi baru lahir yang premature atau lahir dengan berat badan lahir rendah harus mendapatkan follow up secara berkala dan terus menerus
b)      Pemberian suplemen besi atau multiple mikronutrien
·         Semua balita dengan berat lahir normal mendapatkan suplemen mikronutrien sejak usia 6 bulan hingga 12 bulan.
·         Semua balita yang lahir premature mendapatkan suplemen mikronutrien sejak usia 2 bulan hingga 24 bulan.
·         Semua balita harus diskrining anemia.
c)      Asupan mikronutrien yang adekuat
·         Semua bayi harus mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan kemudian dilanjutkan hingga balita berusia 2 tahun.
·         Setelah 6 bulan bayi diberikan makanan tambahan dari bahan – bahan yang mengandung mikronutrien sebagai tambahan ASI
·         Balita yang berasal dari keluarga miskin sebaiknya mendapatkan suplemen mikronutrien atau makanan tambahan yang telah difortifikasi mikronutrien.
g.      Mencegah defisiensi vitamin A
(1)   Pemberian suplemen vitamin A post partum
Semua wanita post partum harus mendapat suplemen vitamin A 200.000 IU
selama 8 minggu.
(2)   Pemberian suplemen vitamin A pada balita
a)      Semua balita berusia 6 – 12 bulan mendapaykan 1 dosis vitamin A 100.000 IU
b)      Balita berusia 1 – 5 tahun mendapatkan suplemen vitamin A dengan dosis 200.000 IU setiap 6 bulan
c)      Balita dan orang dewasa yang memiliki masalah dengan sistem imun, anak – anak yang terkena cacar, campak, diare, infeksi saluran pernapasan, malnutrisi berat, dan xerophtalmia harus mendapatkan vitamin A.
(3)   Pemberian asupan vitamin A melalui buah – buahan dan sayuran sumber vitamin A, pemberian suplemen dan makanan yang telah difortifikasi vitamin A pada anak – anak dari kalangan miskin.
Seluruh program ini telah diadopsi oleh Indonesia untuk mengatasi masalah stunting dan kurang gizi, namun diperlukan strategi khusus agar program ini dapat benar – benar dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi tahun 2011 – 2015 untuk wilayah Lampung yang masuk ke dalam strata 4, maka kebijakan yang diambil adalah mempercepat penurunan prevalensi gizi kurang pada ibu dan anak dan peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, dengan strategi :
a.       Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan meningkatkan kemitraan dan kerjasama multi-sektor dalam badan pangan dan gizi tingkat provinsi yang efektif dan badan yang berdifat parallel di tingkat kabupaten dan kota, memantau dengan intensif implementasi program terkait serta peningkatan advokasi dan sosialisasi pengembangan kebijakan kesehatan mendukung pangan dan gizi di semua jenjang administrasi.
b.      Perbaikan gizi masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan pada ibu dan anak sejak janin dalam kenadungan, persalinan, neonatal, bayi dan anak baduta dengan paket intervensi gizi efektif.
c.       Peningkatan aksesibilitas pangan dengan meningkatkan aksesibilitas pangan yang beragam, aman dan bergizi seimbang untuk memnuhi asupan kalori minimal 20000 Kkal/orang/hari terutama bagi rumah tangga miskin, daerah terpencil dan daerah perbatasan.
d.      Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat dengan meningkatkan pembersadayaan perempuan dan kelurga dalam menerapkan PHBS termasuk sadar gizi.
e.       Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan.




REFERENSI

1.      BAPPENAS. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015. Jakarta : 2011.
2.      The Mother and Child Health and Education Trust. Protection and Support of Healthy Maternal, Infant and Young Child Feeding. Diakses tanggal 10 September 2011 di www.motherandchildnutrition.org
3.      Gibney MJ. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. 2002.
4.      Onis M. Prevalence and Trendsof Stunting Among Pre-School Children 199 – 2010. Public Helath Nutrition Vol.10. 2011.
5.      Schaetzel T. The Case for Preventing Malnutrition Through Improved Infant Feeding and Management of Childhood Illness. USAID infant and young child nutrition project. 2009.
6.      Ricci A. Reducing Stunting Among Children : The Potential Contribution of Diagnosis. Nature Publishing Group : 2006.
7.      Sari M. Higher Household Expenditure on Animal Source and Nongrain Food Lowers the Risk of Stunting Among Children 0 – 59 Months Old in Indonesia : Implication of Rising Food Prices. The Journal of Nutrition. 2010.