Wednesday 14 September 2011

STRATEGI INTERVENSI STUNTING DI PROVINSI LAMPUNG


1.1  Pendahuluan
Salah satu program dalam Millenium Development Goals (MDGs) adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Dalam laporan pencapaian MDGs tahun 2010 dikatakan bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan kemiskinan menjadi setengahnya. Angka kurang gizi pada balitapun dilaporkan telah mengalami penurunan.
Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing – masing 18,4 persen dan 36,8%, angka ini menempatkan Indonesia menjadi 36 negara yang member 90% kontribusi masalah gizi dunia. Meskipun berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masing – masing 17,9% dan 35,6% namun masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapatkan penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan.
Konsumsi makanan yang beragam, bergisi, seimbang dan aman dapat memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Gizi pada ibu hamil sangat berpengaruh pada perkembangan otak janin, sejak dari minggu ke empat pembuahan sampai lahir dan sampai anak berusia 2 tahun. Sejumlah penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan (Jalal, 2009).
Data Riskesdas juga menunjukkan bahwa asupan kalori anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari rendahnya AKG adalah anak balita perempuan dan laki – laki Indonesia mempunyai tinggi badan masing – masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 5 – 19 tahun kondisi ini lebih buruk karena anak perempuan tingginya 13,6 cm di bawah standard an anak laki – laki 10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu pendek juga terbukti melahirkan 46,7% bayi pendek. Katena itu jelas masalah gizi intergenerasi ini harus mendapat perhatian serius karena telah terbukti akan mempengaruhi kualitas bangsa.

1.2  Stunting
a.       Definisi
Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Gibney, 2004).
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunting terjadi sebagai akibat dari adanya kurang gizi kronis.

b.      Penyebab Stunting
Menurut Gibney, 2004 terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kurang gizi pada balita, yaitu sebagai berikut :
1.      Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gizi kurang
Ada lima mekanisme yang dapat menyebabkan gizi kurang yaitu :
a)      Penurunan asupan nutrien (bencana kelaparan, anoreksia karena penyakit kronis)
b)      Penurunan absorbsi nutrien (malabsorpsi karohidrat dan asam amino pada kolera)
c)      Penurunan pemakaian nutrien dalam tubuh (penggunaan obat malaria yang mengganggu metabolism folat)
d)     Peningkatan kehilangan nutrien (diare)
e)      Peninngkatan kebutuhan nutrien (infamasi kronis yang menyebabkan meningkatnya laju metabolik)
2.      Faktor sosioekonomi
Beberapa faktor sosial dan ekonomi telah diketahu berhubungan dengan kejadian gizi kurang. Daerah dengan pendapatan rendah, pendidikan orang tua rendah, rendahnya akses dengan tenaga kesehatan atau pusat pelayanan kesehatan telah diketahui berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah penderita gizi kurang.
3.      Bencana
Munculnya bencana seperti bencana kekeringan yang terjadi di Ethiopia telah menyebabkan prevalensi stunting dan wasting meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Peperangan atau konflik daerah juga menimbulkan tingginya prevalensi kasus gizi kurang. Bencana lain sepeerti banjir, badai, gempa dan sebagainya tidak terlalu berpengaruh karena durasinya lebih pendek dan kecil kemungkinan dalam menimbulkan masalah gizi.
4.      Aspek sosial dan perilaku
Ibu – ibu bekerja yang tidak memberikan ASI, ketidaktahuan tentang gizi dan fungsi ASI pada masyarakat berpendidikan rendah, kebiasaan dan adat istiadat seperti membiarkan balita makan sendiri, kebiasaan memberi makan balita setelah orang dewasa makan juga telah diteliti memiliki pengaruh kuat dengan kejadian stunting dan wasting pada anak – anak.

1.3  Prevalensi Stunting
Berdasarkan data WHO tahun 2000 jumlah balita yang mengalami stunting adalah 33%, jumlah ini telah mengalami penurunan sejak tahun 1980 yaitu sebesar 47%. Namun seiring dengan penurunan tersebut stunting justru semakin meningkat jumlahnya di beberapa negara Afrika. Masalah stunting lebih sering ditemui dibandingkan dengan masalah wasting (badan kurus).
Estimasi WHO pada tahun 2010 jumlah balita yang mengalami stunting mencapai 171 juta jiwa atau 27% dari seluruh balita. Diperkirakan bahwa jumlah balita penderita stunting paling tinggi di Asia yaitu sebesar 100 juta anak balita.
Di Indonesia pada tahun 2007 prevalensi anak balita pendek adalah 36,8% dan pada tahun 2010 menurun sedikit menjadi 35,6% padahal target RPJM pada tahun 2014 harus diturunkan menjadi 32%. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015 Provinsi Lampung berada dalam Strata 4 yaitu daerah dengan prevalensi pendek pada anak balita > 32% dan proporsi jumlah penduduk dengan rata – rata asupan kalori < 1.400 Kkal/orang/hari atau penduduk rawan pangan sebesar > 14,47%, lampung menempati posisi ini bersama dengan provinsi di daerah Nusa Tenggara dan Provinsi Papua Barat.

1.4  Strategi Intervensi Stunting
Secara global, telah dicanangkan berbagai program untuk mencegah dan menurunkan prevalensi stunting, diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan aksi nutrisi essensial (The Essential Nutrition Actions/ENAs) yang dicanangkan WHO. Program ini mencakup 6 hal yaitu :
a.       Pemberian nutrisi sehat bagi wanita
(1)   Mencegah anemia defisiensi besi pada wanita hamil
(2)   Pemberian asupan makanan yang adekuat :
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Peningkatan intake makanan dengan menambah 1 porsi makan setiap harinya
·         Mengurangi kinerja (paling tidak memiliki waktu istirahat yang rutin setiap harinya)
·         Penggunaan garam beryodium setiap hari
·         Memonitor peningkatan berat badan secara rutin selama kehamilan (berat badan wanita hamil naik 10 – 12 kg selama kehamilan)
(3)   Persiapan menyusui
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Inisiasi menyusui segera dalam 1 jam pertama setelah melahirkan
·         Pentingnya pemberian kolostrum
·         Memberikan hanya ASI tanpa makanan tambahan apapun selama 6 bulan
(4)   Mencegah transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak
(5)   Nutrisi selama menyusui
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Mencegah anemia defisiensi besi selama masa nifas
·         Meningkatkan asupan nutrisi dengan menambah porsi makan 2 kali setiap harinya
·         Meningkatkan variasi makanan (makanan berserat, protein hewani, kacang – kacangan, buah dan sayur)
·         Mnurunkan kinerja (menambah pola istirahat)
·         Meneruskan pemberian ASI selama anak sakit
·         Menjaga jarak kehamilan, serta metode kontrasepsi amenorhoe laktasi bagi ibu menyusui.
b.      Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0 – 6 bulan
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
(1)   Skin to skin contact antara ibu dengan bayi segera setelah melahirkan
(2)   Pemberian ASI dalam 60 menit pertama
(3)   Pemberian kolostrum
(4)   Mengosongkan satu payudara sebelum memindahkan bayi ke payudara lainnya
(5)   Tidak memberikan makanan tambahan apapun termasuk air putih, air gula atau makanan lainnya.
(6)   Pemberian ASI secara on-demand, sesuai keinginan bayi siang dan malam (minimal 8 kali perhari).
(7)   Mencegah defisiensi vitamin A
(8)   Mencegah defisiensi zat besi
(9)   Pemantauan tumbuh kembang bayi secara rutin tiap bulan :
·         Berat badan dan tinggi badan balita ditimbang dan diukur tiap bulan lalu dicatat dan dimasukkan ke grafik tumbuh kembang yang telah ditetapkan oleh WHO.
·         Apabila selama 2 bulan balita tidak mengalami kenaikan berat badan atau berat badannya turun hingga dibawah garis batas normal maka balita tersebut harus dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih kompeten.
c.       Pemberian makanan tambahan yang sehat pada bayi usia 6 – 35 bulan
(1)   Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 6 bulan – 1 tahun
Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada seluruh wanita hamil mengenai :
·         Memberikan makanan tambahan setelah bayi mencapai usia 6 bulan
·         Tetap melanjutkan pemberian ASI
·         Menyediakan makanan tambahan secara rutin dengan porsi kecil untuk bayi setiap hari
·         Meningkatkan porsi dan kekentalan makanan seiring dengan bertambahnya usia bayi
·         Memberikan bayi makanan kaya energy dan makanan yang telah difortifikasi oleh mikronutrien jika ada
·         Menyiapkan dan menyimpan makanan bayi dengan bersih
(2)   Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 1 – 3 tahun
·         Pemberian ASI dilanjutkan hingga usia balita 2 tahun
·         Lanjutkan pemberian makanan tambahan dengan tetap memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan, berikan makanan yang bervariasi dan sehat.
·         Hindari memberikan anak makanan yang berpengawet, mengandung pemanis dan minuman – minuman yang bersoda
·         Ajarkan anak cara makan yang benar dan bersih
(3)   Mencegah defisiensi vitamin A
(4)   Mencegah anemia defisiensi besi
(5)   Pemantauan tumbuh kembang balita
d.      Memberikan makanan pada balita yang sakit, dan setelah sakit
(1)   Periode ASI eksklusif (0 – 6 bulan)
·         Saat bayi sakit, pemberian ASI harus ditingkatkan, demikian pula setelah bayi sakit untuk menghindari penurunan berat badan yang berlebihan karena sakit.
·         Jika ada kesulitan menyusui segera konsultasikan dengan petugas yang kompeten.
·         Balita sakit tidak diberikan minuman apapun kecuali yang diresepkan, berikan oralit dan suplemen Zinc (10 mg) selama 10 – 14 hari jika balita mengalami diare.
(2)   Periode pemberian makanan tambahan (6 – 35 bulan)
·         Tingkatkan frekuensi menysusui dan berikan makanan tambahan untuk mencegah penurunan berat badan yang berlebihan.
·         Tambah porsi makan dan berikan tambahan makanan yang kaya energy dan nutrient lain setiap hari setelah bayi sakit untuk membantu proses penyembuhan.
·         Berikan oralit dan suplemen zinc (20 mg) selama 10 – 14 hari jika balita mengalami diare
(3)   Deteksi dini dan rujukan pada bayi yang mengalami malnutrisi akut
e.       Mencegah defisiensi yodium
(1)   Memonitor kualitas garam beryodium yang beredar di pasaran
(2)   Mempromosikan konsumsi garam beryodium
·         Bekerjasama dengan sector tertentu untuk menyediakan akses untuk memasarkan garam beryodium
·         Bekerja sama dengan media dan petugas kesehatan untuk mempromosikan penggunaan garam beryodium serta fungsinya
f.       Mencegah anemia defisiensi besi
(1)   Mencegah defisiensi besi pada wanita
a)      Semua wanita hamil harus menerima 30 tablet zat besi dan asam folat setiap bulannya selama 6 bula (total 180 tablet).
b)      Semua wanita hamil harus mendapatkan konseling mengenai fungsi, efek samping dan komplikasi zat besi dan asam folat
c)      Semua wanita hamil harus dipastikan menghabiskan semua tablet yang diberikan
d)     Wanita menyusui harus tetap melanjutkan konsumsi suplemen zat besi selama 3 bulan pertama post partum jika prevalensi anemia mencapai 40% di daerah tersebut.
e)      Pemberian asupan mikronutrien yang adekuat
·         Semua wanita harus mendapatkan asupan mikronutrien dengan mengkonsumsi makanan yang kaya mikronutrien.
·         Wanita miskin harus mendapatkan suplemen mikronutrien atau makanan yang telah difortifikasi mikrinutrien
(2)   Mencegah anemia defisiensi besi pada balita
a)      Segera setelah lahir
·         Penundaan pemotongan tali pusat paling tidak 2 menit
·         Bayi baru lahir yang premature atau lahir dengan berat badan lahir rendah harus mendapatkan follow up secara berkala dan terus menerus
b)      Pemberian suplemen besi atau multiple mikronutrien
·         Semua balita dengan berat lahir normal mendapatkan suplemen mikronutrien sejak usia 6 bulan hingga 12 bulan.
·         Semua balita yang lahir premature mendapatkan suplemen mikronutrien sejak usia 2 bulan hingga 24 bulan.
·         Semua balita harus diskrining anemia.
c)      Asupan mikronutrien yang adekuat
·         Semua bayi harus mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan kemudian dilanjutkan hingga balita berusia 2 tahun.
·         Setelah 6 bulan bayi diberikan makanan tambahan dari bahan – bahan yang mengandung mikronutrien sebagai tambahan ASI
·         Balita yang berasal dari keluarga miskin sebaiknya mendapatkan suplemen mikronutrien atau makanan tambahan yang telah difortifikasi mikronutrien.
g.      Mencegah defisiensi vitamin A
(1)   Pemberian suplemen vitamin A post partum
Semua wanita post partum harus mendapat suplemen vitamin A 200.000 IU
selama 8 minggu.
(2)   Pemberian suplemen vitamin A pada balita
a)      Semua balita berusia 6 – 12 bulan mendapaykan 1 dosis vitamin A 100.000 IU
b)      Balita berusia 1 – 5 tahun mendapatkan suplemen vitamin A dengan dosis 200.000 IU setiap 6 bulan
c)      Balita dan orang dewasa yang memiliki masalah dengan sistem imun, anak – anak yang terkena cacar, campak, diare, infeksi saluran pernapasan, malnutrisi berat, dan xerophtalmia harus mendapatkan vitamin A.
(3)   Pemberian asupan vitamin A melalui buah – buahan dan sayuran sumber vitamin A, pemberian suplemen dan makanan yang telah difortifikasi vitamin A pada anak – anak dari kalangan miskin.
Seluruh program ini telah diadopsi oleh Indonesia untuk mengatasi masalah stunting dan kurang gizi, namun diperlukan strategi khusus agar program ini dapat benar – benar dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi tahun 2011 – 2015 untuk wilayah Lampung yang masuk ke dalam strata 4, maka kebijakan yang diambil adalah mempercepat penurunan prevalensi gizi kurang pada ibu dan anak dan peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, dengan strategi :
a.       Penguatan kelembagaan pangan dan gizi dengan meningkatkan kemitraan dan kerjasama multi-sektor dalam badan pangan dan gizi tingkat provinsi yang efektif dan badan yang berdifat parallel di tingkat kabupaten dan kota, memantau dengan intensif implementasi program terkait serta peningkatan advokasi dan sosialisasi pengembangan kebijakan kesehatan mendukung pangan dan gizi di semua jenjang administrasi.
b.      Perbaikan gizi masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan pada ibu dan anak sejak janin dalam kenadungan, persalinan, neonatal, bayi dan anak baduta dengan paket intervensi gizi efektif.
c.       Peningkatan aksesibilitas pangan dengan meningkatkan aksesibilitas pangan yang beragam, aman dan bergizi seimbang untuk memnuhi asupan kalori minimal 20000 Kkal/orang/hari terutama bagi rumah tangga miskin, daerah terpencil dan daerah perbatasan.
d.      Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat dengan meningkatkan pembersadayaan perempuan dan kelurga dalam menerapkan PHBS termasuk sadar gizi.
e.       Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dengan meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan.




REFERENSI

1.      BAPPENAS. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015. Jakarta : 2011.
2.      The Mother and Child Health and Education Trust. Protection and Support of Healthy Maternal, Infant and Young Child Feeding. Diakses tanggal 10 September 2011 di www.motherandchildnutrition.org
3.      Gibney MJ. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. 2002.
4.      Onis M. Prevalence and Trendsof Stunting Among Pre-School Children 199 – 2010. Public Helath Nutrition Vol.10. 2011.
5.      Schaetzel T. The Case for Preventing Malnutrition Through Improved Infant Feeding and Management of Childhood Illness. USAID infant and young child nutrition project. 2009.
6.      Ricci A. Reducing Stunting Among Children : The Potential Contribution of Diagnosis. Nature Publishing Group : 2006.
7.      Sari M. Higher Household Expenditure on Animal Source and Nongrain Food Lowers the Risk of Stunting Among Children 0 – 59 Months Old in Indonesia : Implication of Rising Food Prices. The Journal of Nutrition. 2010.

Wednesday 7 September 2011

EFEKTIFITAS PEMBERIAN SUPLEMEN MIKRONUTRIEN SELAMA KEHAMILAN DI VIETNAM : PENGARUHNYA TERHADAP BERAT BADAN LAHIR DAN STUNTING PADA ANAK SEKITAR USIA 2

Oleh : Nguyen Do Huy, Le Thi Hop, Roger Shrimpton, Cao Viet Hoa

Latar Belakang
Defisiensi berbagai jenis mikronutrien selama masa kehamilan di Vietnam berkontribusi terhadap buruknya tumbuh kembang janin dan stunting, hal ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan tumbuh kembang para generasi penerus bangsa.

Tujuan Penelitian
Mengetahui efek pemberian suplemen multiple mikronutrien terhadap peningkatan berat badan ibu selama kehamilan, berat badan lahir bayi dan tinggi badan anak pada usia sekitar 2 tahun.

Metode Penelitian
Pemilihan sampel dilakukan tanpa randomisasi dan bersifat non-blinded, penelitian dilakukan untuk melihat efektivitas program yang dilaksanakan di 3 daerah di Red River Delta, Vietnam bagian utara. Pada daerah 1, wanita hamil mendapatkan suplemen standar berupa zat besi dan folat selama masa antenatal. Pada daerah 2, wanita hamil mendapatkan suplemen multiple mikronutrien, sedangkan pada daerah 3, wanita hamil diberikan suplemen mikronutrien dan pelatihan berbasis gender (gender training). Survey kluster dilakukan di akhir periode penelitian di ketiga daerah tersebut untuk menghitung jumlah kelahiran dengan berat badan lahir rendah dan dua tahun kemudian dilakukan pengukuran berat serta tinggi badan anak, serta pengumpulan data demografi ibu.

Hasil Penelitian
Rata – rata berat badan lahir pada daerah yang diberikan suplemen multiple mikronutrien lebih tinggi dibandingkan dengan rata – rata berat badan lahir daerah yang hanya mendapatkan suplemen besi dan folat. Rata – rata berat badan lahir lebih tinggi yaitu 166 pada daerah yang mendapatkan suplemen multiple mikronutrien, dan 105 pada daerah yang mendapatkan suplemen multiple mikronutrien dan gender training dibandingkan dengan daerah yang hanya mendapatkan suplemen besi dan folat (p>0,05). Prevalensi berat badan lahir rendah (< 2500 gram) lebih rendah pada daerah yang mendapatkan suplemen mikronutrien yaitu 4,0% dan di daerah yang mendapatkan suplemen mikronutrien dengan gender training 5,8% dibandingkan dengan daerah yang hanya mendapatkan suplemen besi dan folat sebesar 10,6%. Anak dengan usia sekitar 2 tahun lebih tinggi yaitu 82,66 cm pada daerah yang mendapatkan suplemen mikronutrien saja, dan 83,61 cm pada daerah yang mendapatkan suplemen mikronutrien dengan gender training, sedangkan di daerah yang hanya mendapatkan suplemen besi dan folat tinggi badan rata – rata hanya 81,64 cm. Angka kejadian stunting 10% lebih rendah pada daerah yang mendapatkan suplemen mikronutrien dibandingkan daerah yang hanya mendapatkan suplemen besi dan folat.

Kesimpulan
Suplemen multiple mikronutrien selama kehamilan merupakan sebuah intervensi penting dalam upaya menurunkan angka kejadian stunting di Vietnam.

Tambahan : Penelitian yg hampir sama pernah dilakukan di Indramayu dengan kesimpulan bahwa pemberian multivitamin selama masa kehamilan mampu meningkatkan status nutrisi ibu dan bayinya
Sumber :
An effectiveness trial of multiple micronutrient
supplementation during pregnancy in Vietnam: Impact
on birthweight and on stunting in children at around 2
years of age, Food and Nutrition Bulletin, vol. 30, no. 4 © 2009 (supplement), The United Nations University